KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN MATERIALIS TENTANG ILMU

Minggu, 04 Oktober 2009

Pemikiran materialis telah melanda sebagian kaum muslimin dan perlu pencerahan untuk melawan pemikiran tersebut. Oleh karena itu ada baiknya bila kami memberikan beberapa kritikan terhadap pemikiran tersebut setelah menerangkan maksudnya secara ringkas.

Eksperimen adalah suatu percobaan, baik bersifat alamis maupun laboratoris. Namun yang penting untuk digaris bawahi adalah kesemuanya itu tidak bisa tidak, harus berhubungan dengan panca indra. Jadi sesuatu yang tidak bisa dilihat, diraba, dicium, didengar dan dirasa, tidak dapat dieksperimen. Dan kalau tidak bisa dieksperimen, kata mereka, tidak bisa diyakini kebenarannya. Oleh karena itu, sekalipun keberadaannya kita ketahui, akan tetapi hanya tergolong sebagai pengetahuan (knowledge) alias ilmu yang tak pasti kebenarannya. Semacam pengetahuan kita terhadap Tuhan, Malaikat, jiwa, surga-neraka dan lain-lain. Ini kata mereka.

Bagi mereka, segala sesuatunya harus dapat lolos dari penyelidikan eksperimen sebelum diyakini kebenarannya atau dijadikan suatu keyakinan. Mereka menentang atau minimal meragukan segala macam kebenaran argumen akal yang banyak disajikan oleh para filosof. Mereka sama sekali tidak mau menjadikan statemen-statemen yang bersifat akliyah sebagai suatu argumen atau sebagai mukadimah dari silogisme yang menghasilkan kebenaran. Walaupun sebenarnya penemuan akliah, secara global lebih meyakinkan dari segala macam penemuan eksperimen sebagaimana yang akan kami buktikan nanti. Dan bahkan manusia tidak bisa lepas dari argumen-argumen atau silogisme-silogisme yang bersifat akliah. Mereka (orang-orang materialis) mengatakan bahwa “semua yang ada dalam pahaman tidak terjamin kebenarannya sebeluk ekperimen”. Kesimpulan mereka ini diambil dari hasil silogisme (Qiyas) yang mereka buat :
“semua yang ada dalam aka, tidak dijamin kebenarannya. Yang tidak dijamin kebenarannya harus diuji dngan eksperimen, supaya dapat diyakini kebenarannya. Jadi semua yang ada dalam akal, harus diuji dengan eksperimen supaya dapat diyakini kebenarannya.”
Kemudian mereka meneruskan :
“kebenaran sejati hanya lahir dari eksperimen. Eksperimen hanya berkaitan dengan yang dapat dipantau dengan panca indra. Jadi kebenaran sejati hanya berkaitan dengan yang dapat dipantau dengan panca indra”.

Kita dapat menyajikan beberapa point untuk membuktikan kelemahan silogisme diatas. Beberapa point yang kamiu maksudkan adalah sebagai berkut :
Poin pertama, dua mukadimah (elemen) pada silogisme pertama dan mukadimah pertama pada silogisme kedua diatas, tidak bisa tidak, adalah sebuah kesimpulan (statemen,proposisi) yang dihasilkan dari induksi. Induksi adalah kesimpulan universal (menyeluruh) yang ditopang oleh penelitian pada sebagian individunya. Sementara induksi sendiri merupakan metodologi akal, bukan eksperimen. Sebab kalau metodologi eksperimen, harus mengeksperimen semuanya sebelum membuat kesimpulan menyeluruh (universal). Dan sudah tentu, yang elemennya (sillogisme) bersifat induktif maka hasilnya juga akan bersifat induktif. Oleh karena itu kesimpulan yang dihasilkan dari sillogisme yang elemen-elemennya bersifat induktif tidak dijamin kebenarannya. Dengan kata lain, kalau kesimpulan mereka benar, yaitu yang mengatakan bahwa yang ada dalam akal kita harus dieksperimen supaya dijamin kebenarannya, maka kesimpulan mereka ini pun harus diuji kebenarannya. Sementara mereka dapatkan kesimpulan tadi dari hasil induksi karena pembuktiannya hanya dilakukan pada beberapa pahaman saja dan tidak mungkin pada semuanya. Sebab disamping pahaman manusia semakin hari semakin bertambah, yang ada dapat kita katakan, sesuai dengan logika mereka, bahwa kesimpulan mereka tersebut belum tentu benar. Dan yang belum tentu benar tidak mungkin dijadikan pegangan.
Poin kedua, pada poin pertama, kita telah membuktikan bahwa elemen-elemen dari dalil mereka, dan begitu pula kesimpulannya bersifat induktif. Dengan demikian terbuktilah bahwa kesimpulan-kesimpulan yang bersifat akliah dapat diyakini kebenarannya.
Poin ketiga, pada elemen kedua pada silogisme pertama dan elemen pertama pada silogisme kedua mempunyai kesamaan maksud. Yakkni eksperimen adalah satu-satunya jalan untuk meyakini kebenaran suatu kesimpulan (statemen). Sementara anda adpat melihat pada poin kedua diatas, bahwa kesimpulan-kesimpulan akliah juga dapat dijadikan sandaran bagi kebenaran suatu statemen. Oleh karenanya jelaslah kesalahan dari kedua elemen tersebut. Dengan demikian silogisme yang elemennya terdiri dari proposisi (statemen, kesimpulan) yang salah. Maka dari itu salahlah perkataan mereka yang mengatakan bahwa “seluruh yang ada dalam akal kita harus dieksperimen supaya dapat diyakini kebenarannya”.
Poin keempat, sesuai sejarah perkembangannya eksperimen melambangkan suatu kemampuan yang ada pada manusia, pelakunya. Sehingga dengan perkembangan kemampuan manusia tersebut tidak jarang kesimpulan yang dihasilkan oleh eksperimen terbaru manusia berbeda dan bahkan menyalahkan yang sebelumnya. Begitulah keadaannya, sehingga setiap penemuan selalu menunggu penemuan baru yang akan menyempurnakannya atau bahkan menyalahkannya sama sekali. Sampai-sampai kita pernah mendengar dari seorang ilmuwan yang mengatakan bahwa sebuah penemuan paling lama akan berumur sepuluh tahun. Kalau demikian halnya, bagaimana mungkin kita akan bersandar kepada suatu kesimpulan yang dihasilkan dari sebuah penemuan eksperimen yang setiap saat menunggu untuk disempurnakan atau bahkan disalahkan oleh eksperimen berikutnya?. Apakah kita akan sependapat dengan filsafat pragmatisme yang dikembangkan oleh paham komunisme?. Hal mana mereka mengatakan bahwa kebenaran itu berkembang, bahwa kebenaran itu benar sebelum disalahkan, bahwa sesuatu itu benar pada masa dibenarkan dan salah pada masa disalahkan?. Adakah pegangan yang lebih rapuh dari ini? Sebab kebenaran adalah kebenaran, baik diakui atau tidak. Karena kebenaran adalah suatu esensi yang hakiki dan tidak berubah serta tidak memerlukan pengakuan.
Poin kelima, sebagaimana maklum, eksperimen berdiri diatas panca indra. Sementara panca indra sangat terbatas oleh ruang, waktu dan keadaan. Sehingga apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, tidak dapat dieksperimenkan. Begitu pula yang tidak terjangkau karena jauhnya, karena dalam atau panasnya. Tak ada yang dapat dilakukan oleh eksperimen terhadap hal-hal tersebut kecuali meraba-raba dan memperkirakannya saja. Sebab yang telah lalu tidak mungkin dimundurkan, dan yang akan datang tidak mungkin dimajukan. Eksperimen juga tidak akan pernah dapat menjelaskan kapan waktu dimulai dan kapan berakhir. Ia tidak mampu menjelaskan awal kejadian manusia, dari apa dan apa setelah mati. Ia sangat terbatas sementara alam sangat luas. Ia sampai detik ini baru menemukan seribu rahasia, itu pun tak pasti sementara alam memiliki bertrilliun-trilliun rahasia yang pasti. Kalau demikian halnya bisakah kita menjadikannya suatu pegangan utnuk mengerti tentang hidup dan kehidupan?. Sebab bagaimana mungkin penemuan yang diapit oleh keraguan dapat menghasilkan kepastian?. Tapi anehnya mereka para pengamat eksperimen justru merasa bangga dengan pangkat ilmuwannya dan ke sana ke mari bangga membawa buku judul “science” dan “penemuan ilmiah”. Sementara mereka yakin bahwa penemuannya tidak sempurna, atau bahkan mungkin salah.
Poin keenam, kalau pada poin kelima kami memaparkan keterbatasan alat eksperimennya, yakni panca indra, sekarang kami akan memaparkan keterbatasan obyek penelitiannya. Eksperimen, bagaimanapun juga tidak akan dapat mengerti tentang keuniversalan alam ini. Sebab sesuai konsepnya sendiri, segala sesuatunya harus dieksperimen. Jadi ketika eksperimen meneliti senut, ia hanya akan mengerti tentang semut dan hal-hal yang nampak jelas berhubungan dengannya. Begitu pula tentang penelitian yang lainnya. Sehingga ia (eksperimen) tidak dapat merumuskan konsep kehidupannya yang universal dan tidak pula dapat menolak konsep kehidupan itu seandainya golongan lain merumuskannya.

Untuk menjawab mereka ini kita dapat mengajukan permasalahan sebagaimana diatas. Yakni karena ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh eksperimen tetap dalam keraguan, maka kesimpulan dari ilmu yang diangkat dari ilmu-ilmu itu juga akan tetap meragukan. Lagipula sudah kami katakan bahwa eksperimen bertolak belakang dengan keuniversalan. Bagaimanapun juga, kalau mereka menginginkan keuniversalan dari ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh eksperimen, sekalipun untuk memadukan seluruh hasilnya, mereka harus menggunakan argumentasi akal, dan tidak dapat secara langsung mengangkatnya dari eksperimen-eksperimen yang ada. Atau mereka harus mampu mengeksperimen hubungan seluruh penemuannya. Dan ini tidak akan cukup dengan hanya mengandalkan seluruh umur manusia yang ada. Sebab sebagaimana maklum, selama masih ada manusia maka di situ pula akan lahir eksperimen yang baru. Yang melengkapi atau bahkan menyalahkan sama sekali penemuansebelumnya. Atau, mungkin sama sekali baru.
Poin ketujuh, marilah kita uji mereka dengan konsep mereka sendiri. Mereka mengatakan bahwa seluruh yang kitaketahui, tanpa eksperimen, tidak dapat dijamin kebenarannya. Yang ingin kami tanyakan, apakah mereka sudah didukung oleh eksperimen?. Apakah mereka sudah mengeksperimen seluruh pengetahuan dasar manusia? Atau sekadar menemukan beberapa saja dari padanya lau menyimpulkan secara menyeluruh? Sebab kalau mengeksperimen seluruh pengetahuan manusia, minimal pengetahuan dasarnya saja, rasa-rasanya akan membuang waktu karena tidak akan cukup untuk itu sekalipun kita memanfaatkan seluruh umur manusia. Sebab selama manusia masih ada, khayalan dan bayangan atau ide akan tetap ada. Dan kalau mereka hanya mengeksperimen sebagiannya saja maka jelas mereka tidak boleh menyimpulkan terhadap keseluruhannya. Ini sesuai dengan konsep eksperimen mereka.

Kami tidak menentang dan antipati terhadap eksperimen. Namun kami ingin menunjukkan posisi yang sebenarnya bahwa ia tidak bisa dijadikan sandaran mutlak bagi kehidupan manusia. Dan kami ingin membuktikan bahwa tidaklah seluruh pahaman atau ide-ide manusia harus selalu dieksperimen sebelum kemudian dinilai benar salahnya. Sebab kalau seluruhnya harus dieksperimenm selain kemuskilan-kemuskilan yang kami uraikan di atas, bukankah kita harus menggeledah seluruh isi kantong, rumah dan kantor teman kita sebelum kita memberikan pinjaman uang kepadanya? Sebab kita harus mengeksperimen sebelum mempercayai bahwa ia tidak mempunyai uang dan memerlukan pinjaman.

BETULKAH NABI MEMILIKI NAFSU MEMBUNUH?


Dalam menghujat masalah ini, Robert Morey mencontohkan hadits nabi tentang keputusan Rasulullah yang menghukum mati Ka'b ibn Asyraf. Keputusan tersebut adalah keputusan jenius seorang panglima perang dan pemimpin masyarakat, keputusan yang tidak hanya cocok dilakukan pada 14 abad yang lalu, tapi hukum international abad modern pun mengakui bahwa keputusan tersebut sah adanya.

Ka'b bin Asyraf adalah seorang Yahudi dari ayah Arab dan ibu Yahudi. Hartanya yang melimpah membuatnya mampu berbuat apa saja untuk menyetir kaum Yahudi yang tinggal di Madinah. Sebagai anggota komunitas Yahudi di Madinah, Ka'ab bin Asyraf mestinya mentaati perjanjian hidup bersama antara Yahudi dan Muslimin di Madinah yang sudah disetujui kedua belah pihak. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kebenciannya kepada Nabi Saw. membuatnya kehilangan akal, segala cara ia lakukan demi menyudutkan Nabi dan kaum muslimin, dari mulai mengejek hingga menghasut masyarakat Quraisy dan Yahudi untuk memerangi Rasulullah dan umatnya. Peringatan sudah disampaikan tapi hanya ditanggapi dingin. Hingga akhirnya, demi menjaga stabilitas Madinah terpaksa penyakitnya harus dibuang. Eksekusi terhadap Ka'b justru dilakukan oleh saudara¬-audaranya sendiri dari bani Aus.

Sejarawan modern H.A. Lammens yang bahkan dari kalangan Yahudi, membenarkan tindakan yang diambil oleh Rasulullah sebagai berikut :
“Apabila Muhammad bertindak keras terhadap orang Yahudi, adalah dapat dimaklumi karena mereka telah berkhianat kepadanya, dan jangan dilupakan keadaan negeri Arab yang belum teratur dewasa itu.......Lagi pula ada seorang Nabi Bani Israel membunuh 300 kahin dari negeri Baal dalam suatu hari saja".
Bukan hanya itu, hukum international-pun membenarkan tindakan Rasulullah Saw, sebagaimana ditulis Abbas Mahmud al-‘Aqqad dalam bukunya Abqariyyatu Muhammad sebagai berikut :
"Menurut undang-undang International terhadap pelangar-pelanggar yang berkhianat, menipu dan merusak kehormatan kaum wanita seperti Ka'ab bin al-Asyraf ini, dikenakan humum seorang tawanan yang telah berjanji dengan nama kehormatan bahwa ia tidak akan kembali lagi berdiri di medan peperangan pada pihak lawan yang diberinya janji tersebut. Undang¬undang Internasional dalam hal ini telah mewajibkan kepada orang tersebut dan kepada pemerintah dari orang yang telah berjanji dengan nama kehormatannya itu supaya orang tersebut tidak ditugaskan lagi oleh pemerintahnya untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang bertentangan dengan janji warganya tersebut. Dan apabila orang tersebut melanggar perjanjiannya, apabila ia jatuh lagi ke dalam tawanan pemerintah yang telah melepasnya pertama kali, hilanglah hak orang tersebut sebagai orang tawanan perang, berhaklah pemerintah yang telah menawannya buat kedua kalinya ini untuk mengadilinya seperti mengadili penjahat-penjahat serta menghukumnya dengan hukum mati".

Undang-undang modern telah mengizinkan hukuman mati atas seseorang karena kesalahan yang lebih ringan dari apa yang telah dilakukan oleh Ka'ab bin al-Asyraf yang telah menghasut orang, mengumpulkan orang dengan perbuatan dan dengan syair-syair yang amat berpengaruh pada masa itu layak pers masa kini, serta melecehkan kaum wanita-wanita muslimah. Maka dalam putusan Rasulullah tersebut yang ada hanya keadilan dengan kepentingan umum penduduk Madinah.
Jika dibandingkan dengan Nabi Isa As. maka walaupun beliau (Nabi Isa As) bukanlah seorang kepala pemerintah namun beliau juga menghendaki agar musuhnya ditangkap.
"Siapa yang percaya dan dibabtis akan diselamatkan, tetapi yang tidak percaya akan dihukum" (Markus 16:16).
"Jangan kamu menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi. Aku datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang". (Matius 10: 34).
Kini ada baiknya kita mendengar penuturan ahli sejarah Yahudi Prof. Israel Welfinson sebagai berikut :
"Hendaknya jangan sampai lupa dari ingatan bahwa kerugian kecil yang mengenai orang Yahudi tanah Hijaz adalah amat sedikit sekali dibandingkan dengan faidah yang didapat oleh Yahudi dari kelahiran Islam, karena orang-orang Islam yang masuk kepelbagai negeri telah menolong (menyelamatkan) beribu-ribu orang Yahudi yang tersiar di berbagai propinsi kerajaan Roman Timur, yang telah dan sedang menderita aneka macam siksa yang sakit sekali. Disamping itu hubungan orang Yahudi dengan kaum Muslimin di berbagai propinsi menjadi sebab bangunnya fikiran besar dalam kalangan orang Yahudi yang abadi bekas-bekasnya dalam sejarah kebudayaan Arab dan Yahudi sejak beberapa lamanya."

Keputusan yang sama telah dimaklumkan oleh Nabi kepada Asma' binti Marwan. Maka tentang Asma' tidak perlu kita bahas lagi, sebab kejadiannya hampir sama.

KERUDUNG WANITA



Di Dunia Islam, seksualitas dan percintaan tidak dipamerkan dijalan jalan. Pornografi tidak bisa diterima. Gadis-¬gadis yang ingin menikah lazimnya tidak mau melakukan hubungan seks sebelum menikah. Anak haram merupakan sesuatu yang amat langka. Kebanyakan mempelai wanita masih perawan saat mereka menikah. Iklan-iklan yang menawarkan pertukaran istri, pesta nudis di pantai, bar homoseks, komune mahasiswa jarang ditemui di negara-negara Muslim pada umumnya.
Pakaian pria dan wanita, termasuk apa yang dinamakan kerudung (hijab), mencerminkan ini; sebab dari sudut pandang Islam, logis saja bahwa kita tidak berusaha memancing sesuatu hal yang tidak kita inginkan untuk terjadi.
Sepanjang menyangkut tubuh manusia, ada satu consensus dasar antara Timur dan Barat : kedua peradaban ini tidak mengizinkan orang, kecuali bayi, untuk berjalan telanjang ke Sana kemari dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi, ada banyak perbedaan menyangkut sejauh mana pakaian dibutuhkan di muka umum.
Di dunia Islam sendiri, tidak ada pandangan yang seragam mengenai masalah ini, seperti yang dapat kita lihat dari pakaian wanita di Maroko, Aljazair, Tunisia, Anatolia, Mesir, Yordania. Negara-negara Teluk, Saudi Arabia, Pakistan, Malaysia, dan Indonesia.

Di dalam al Quran, ini hanya protokoler yang diterapkan bagi istri-istri Nabi. Sedangkan untuk Perempuan Muslim di Mesir diartikan dengan pakaian dengan tangan dan muka saja yang terbuka, sedangkan di Iran diinterprestasikan dengan Chador (cadar). Sedangkan laki-laki diwajibkan untuk berpakaian pantas, namun perempuan tidak disuruh mencadari diri dari pandangan, atau memencilkan diri dari laki-laki dalam bagian terpisah di rumah. Ini merupakan perkembangan kemudian, dan tidak menyebar di kerajaan Islam sampai tiga atau empat generasi setelah kematian Rasulullah SAW Terlihat bahwa adat pencadaran dan pemisahan perempuan memasuki dunia Muslim dari Persia dan Byzantium, dimana perempuan sudah lama diperlakukan demikian.
Kenyataannya, cadar atau hijab tidak dirancang untuk merendahkan istri-istri Rasulullah SAW melainkan sebagai symbol status tertinggi. Setelah kematian Rasulullah SAW, istri¬-strinya menjadi orang-orang yang amat berpengaruh. Mereka memiliki otoritas dalam hal agama dan kerap dimintai konsultasi tentang praktik (sunnah) dan pendapat-pendapat Rasulullah SAW Aisyah menjadi amat penting di dunia politik. Tampak bahwa kelak perempuan-perempuan lain iri akan status istri¬-istri Rasulullah SAW dan menuntut agar mereka diizinkan memakai cadar juga. Kebudayaan Islam sangat egaliter dan tampak tidak pantas bahwa istri-istri Nabi harus dibedakan dan dihormati dengan cara ini. Maka banyak perempuan Muslim yang mula-mula memakai cadar memandangnya sebagai simbol kekuatan dan pengaruh, bukan sebagai tanda tekanan laki-laki. Jelas ketika para istri prajurit Perang Salib melihat penghormatan yang didapat oleh perempuan Muslim, mereka juga mengenakan cadar dengan harapan mengajari laki-laki mereka untuk memperlakukan mereka dengan lebih baik. Selalu sulit untuk mengerti simbol-simbol dan praktik-praktik kebudayaan lain. Maka sulit dimengerti bila Dr. Robert Morey menguraikan bahwa kerudung dianggap sebagai memaksakan busana gurun kepada para wanita di manapun mereka berada, dan hal itu merupakan suatu bentuk imperialisme budaya. Hal ini menunjukkan kurangnya pengetahuan dia terhadap sejarah. Di Eropa, orang barat mulai menyadari bahwa mereka kerap salah interprestasi dan memandang rendah kebudayaan tradisi lain di koloni-koloni dan protektoriat mereka. Banyak perempuan Muslim hari ini, bahkan mereka yang dibesarkan di Barat, merasa tersinggung ketika kaum feminis Barat mengutuk kebudayaan mereka sebagai kebencian terhadap perempuan. Kebanyakan agama berisikan hal-hal (bersifat) laki-laki dan memiliki bias patriarki. Namun salah bila memandang Islam sebagai yang lebih buruk dalam hal ini dibanding dengan tradisi lainnya. Di Abad Pertengahan, posisinya adalah kebalikannya : pada masa itu kaum Muslim terperangah melihat cara-cara orang Kristen Barat memperlakukan perempuan-perempuan mereka di negara-negara Perang Salib. Kaum terpelajar Kristen mencela Islam karena memberikan terlalu banyak kekuatan kepada makhluk yang mereka pandang rendah seperti para budak dan perempuan. Kini ketika sebagian perempuan Muslim kembali pada busana tradisional mereka, ini tidak selalu berarti bahwa otak mereka telah dicuci oleh agama yang sovinis, melainkan karena mereka menemukan bahwa kembali ke akar budaya sangat memberikan kepuasan. Jika kita simak Bibel, ternyata ada kewajiban bagi umat Kristiani yang perempuan untuk berkerudung.

"Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia rnenudungi kepalanya."

Ini merupakan bantahan pada sikap imperialis Barat yang mengaku lebih memahami tradisi-tradisi dari pada mereka sendiri.

HAK-HAK WARGA NEGARA (SIPIL) DALAM ISLAM


Boleh dikatakan bahwa Islam telah banyak memperbaiki (adat jahat) Jahiliyyah. Di Arabia pra-Islam individu tak memiliki hak-hak sebagai individu, melainkan hanya sebagai anggota dari suatu kelompok kerabat. Apabila ada yang menjumpai seseorang di padang pasir dan tak menyukai penampilannya, maka tak ada yang dapat melarangnya untuk membunuh orang tersebut selain dari rasa takut retaliasi dari sukunya. Tegasnya, hak untuk hidup bergantung pada "perlindungan" (kemampuan untuk melakukan balas dendam) dari kelompok kerabat. Ketika ummah Islam mengganti (system) kelompok kerabat itu, hak ini seperti hak-hak lainnya juga jelas ditegaskan secara lebih terjamin.

Berdasarkan al-Quran, hak dasar berikut ini sudah dijamin secara hukum selama 1400 tahun sampai sekarang : hak hidup, hak jasmaniah untuk tidak diganggu, hak untuk mendapatkan perlakuan setara/non-diskriminasi, hak atas kekayaan, hak mempertahankan kebebasan hati nurani, hak perkawinan, hak mendapat pengadilan hukum, hak untuk dinyatakan tidak bersalah sebelum terbukti sebaliknya hak untuk tidak mendapatkan hukuman tanpa ancaman hukuman sebelumnya, hak perlindungan dari siksaan, dan hak suaka.

Dr. Robert Morey menganggap bahwa hukum dunia Islam, sebagai sejarah hukum barbar, meskipun anggapan tersebut tentu saja berlawanan dengan fakta yang telah kita bahas di atas. Hal ini menunjukkan bahwa mereka berupaya menunjukkan Islam dalam bentuk yang paling mengerikan, atau tidak punya pengetahuan sedikitpun mengenainya.
Konsep Barat mengenai hak asasi manusia dianggap sebagai tuntutan Negara. Seperti yang telah diketahui secara luas, perumusan hak asasi menusia yang klasik di abad-abad sebelumnya ditujukan untuk membatasi kekuasaan Negara saja, dengan memberikan kepada warga negara kebebasan dari sesuatu atau keleluasaan untuk melakukan sesuatu. Negara, yang dikendalikan dengan undang-undang hak asasi, dicegah agar tidak menarik pajak, menahan, merampas atau menjatuhkan hukuman mati semau-maunya. Tekanannya bukan pada apa yang harus dilakukan Negara, melainkan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh negara. Namun, balakangan ini, hak asasi manudia telah dirumuskan dalam pengertian tuntutan akan aksi kesejahteraan Negara. Negara harus menjamin lapangan kerja, perumahan, perawatan kesehatan, bahkan hak untuk menikmati alam dan kebahagiaan individu. Ini telah mendorong pada turunnya nilai "hak asasi manusia" dan turunnya nilai sektor negara. Penyimpangan-penyimpangan ini sama-sama dapat membahayakan kelangsungan hidup cita-cita yang mulia dari hak asasi manusia karena hilangnya kaitan transendental.
Sedangkan bagi ummat Muslim, setiap hak harus bersumber dari ilahi Al-Quran dan Sunnah Nabi. Dan hak dasar tidak mungkin diciptakan oleh manusia melainkan hanya dapat ditampilkan kembali olehnya.

Lebih jauh lagi, hukum Islam berbeda dari barat karena mempertimbangkan bahwa semua hak, termasuk hak asasi manusia, hanya terjamin dengan sungguh-sungguh jika seluruh sistem sosial clan hukum berada dalam kondisi yang baik, yaitu bahwa tujuan mulia keadilan hanya bisa diwujudkan sebagai produk sampingan dari system sosial yang komprehensif clan adil, dan bukan secara terpisah.

Menurut hukum Islam, hak untuk beralih agama tanpa menimbulkan kerugian hukum tidak berlaku bagi seorang Muslim. Paling-paling, peralihannya ke agama lain akan mendatangkan konsekuensi menyangkut warisan dan kemungkinan perkawinannya (batalnya keabsahan perkawinannya dengan seorangwanita Muslim), meskipun jelas tidak ada perintah Al-Quran untuk menghukum mati orang yang murtad tersebut. Sedangkan ayat 5:33 adalah hukuman mati bagi pengkhianat di masa perang, karena kebanyakan yang murtad adalah orang yang berkhianat. Situasi ini akan dapat dipahami dengan mudah jika menjadi seorang Muslim disamakan dengan mendapatkan kewarganegaraan di sebuah negara Barat. Tidak ada yang menyangkal bahwa hak istimewa atau kewajiban tertentu ada kaitannya dengan pemilikan kewarganegaraan.

Pada kenyataannya, demokrasi yang berkembang di dunia saat ini, adalah demokrasi berdasar suara mayoritas. Negara yang berpenduduk mayoritas Kristen tentu risih dipimpin seorang Muslim, begitu sebaliknya. Hanya bedanya, minoritas non-muslim di negara muslim lebih aman ketimbang minoritas muslim di negara non-muslim. Berita penganiayaan atas mereka tidak berhenti hingga sekarang. Berita yang masih hangat, Perancis ingin melarang pemakaian jilbab oleh pelajar muslim dengan alasan sekulerisasi, dipihak lain mereka menuduh Saudi yang mewajibkan jilbab sebagai negara yang tidak demokratis. lantas apa arti demokrasi yang sebenarnya? Apa yang diterapkan dengan setandar ganda?

PANDANGAN BARAT TENTANG ISLAM


Cara pandang orang barat sebagai mana yang terungkap dalam buku Dr. Morey terhadap perilaku umat Islam, hukum¬hukum Islam dan peribadatan dalam Islam adalah reaksi spontan terhadap keadaaan umat Islam di negara-negara Islam tanpa memperhatikan apa sesungguhnya ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh melainkan sepenggal-sepenggal sesuai dengan kebutuhan mereka dalam memaknai Islam. Sebagaimana telah kita bahas beberapa penyebabnya yang juga membuat kita tidak heran dengan adanya pandangan negatif barat kepada Islam itu, namun juga tidak dapat disembunyikan bahwa pandangan Barat tersebut seringkali disebabkan oleh salah paham, atau malah oleh rasa permusuhan. Apalagi dengan adanya tulisan Samuel Huntington yang mengemukakan tentang kemungkinan terjadinya perbenturan budaya (clash of civilizations) dengan Islam sebagai pola budaya yang paling potensial "membentur budaya modern Barat, maka rasa permusuhan yang laten kepada Islam itu semakin memperoleh bahan pembenaran.
Untunglah bahwa di kalangan orang Barat sendiri selalu tampil orang-orang yang jujur dan sadar. Dalam kejujuran dan kesadaran itu mereka tampil sungguh menarik sebagai pembela-pembela Islam yang tangguh. Kerapkali mereka juga sangat gemas dengan pandangan penuh nafsu namun salah dan Zalim dari kalangan orang Barat tentang Islam dan kaum Muslim. Contohnya ialah Robert Hughes, seorang yang lama bekerja sebagai kritikus seni majalah Time. Karena pandangan dan komentarnya dengan baik sekali mewakili dan mencoba bersikap adil dan benar, maka ada baiknya penulis terkenal ini kita kutip sebuah pernyataannya secara panjang lebar. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Culture of Complaint- sebuah bestseller koran New York Times- Hughes mengatakan pandangan hidup aneka budaya (multicultural) demikian :

"Maka jika pandangan aneka budaya ialah belajar melihat tembus batas-batas, saya sangat setuju. Orang Amerika sungguh punya masalah dalam memahami dunia lain. Mereka tidaklah satu-satunya -kebanyakan sesuatu memang terasa asing bagi kebanyakan orang¬tetapi melihat aneka ragam asal kebangsaan yang diwakili dalam masyarakat mereka (Amerika) yang luas, sikap tidak pedulinya dan mudahnya merima stereotip masih dapat membuat orang asing heran, bahkan (berkenaan dengan diri saya) sesudah tinggal di A.S. duapuluh tahun. Misalnya: Jika orang Amerika putih masih punya kesulitan memandang orang hitam, bagaimana dengan orang Arab? Sama dengan setiap orang, saya menonton Perang Teluk di televisi, membaca beritanya di Koran dan melihat bagaimana perang itu membuat klimaks buruk kepada kebiasaan yang sudah lama tertanam pada orang Amerika, berupa ketidak pedulian yang penuh permusuhan kepada dunia Arab, dahulu dan sekarang. Jarang didapat petunjuk dari media, apalagi dari kaum politisi, bahwa kenyataan tentang budaya Islam (baik dahulu maupun kini) bukanlah tidak lain dari sejarah kefanatikan. Sebaliknya, orang pintar bergantian maju untuk meyakinkan umum bahwa orang Arab pada dasarnya adalah sekumpulan kaum maniak agama yang berubah¬-ubah, pengambil sandra, penghuni semak berduri dan padang pasir yang sepanjang zaman menghalangi mereka untuk kenal dengan negeri-negeri yang lebih beradab. Fundamentalisme Islam di zaman modern memenuhi layar telebisi dengan mulut-mulut yang berteriak dan tangan-tangan melambaikan senjata; tentang Islam masa lalu -apalagi sikap ingkar orang Arab sekarang terhadap senofobia dan militerisme fundamentalis¬sangat sedikit terdengar. Seolah-olah orang Amerika selalu dicekoki dengan versi pandangan Islam yang dianut Ferdinand dan Isabella pada abad 15, yang dibesar-besarkan dan disesuaikan dengan zaman. Inti pesannya ialah bahwa orang Arab adalah tidak hanya tidak berbudaya, tetapi tidak dapat dibuat berbudaya. Dalam caranya yang jahat, pandangan itu melambangkan suatu kemenangan bagi para mulla dan saddam Husein -di mata orang Amerika, apa saja di dunia arab yang tidak cocok dengan kejahatan dan maniak eskatologis ditutup rapat, sehingga mereka (orang Amerika) tetap menjadi pemilik penuh bidang (segala kebaikan) itu.
Tetapi memperlakukan budaya dan sejarah Islam sebagai tidak lebih daripada mukadimah kefanatikan sekaran gini tidak membawa faedah apa-apa. Itu sama dengan memandang katedral Gotik dalam kerangka orang Kristen zaman modern seperti Jimmy Swaggart atau Pat Robertson (dua penginjil televisi yang amat terkenal namun kemudian jatuh tidak terhormat karena skandal-skandal -NM).

Itulah kritik seorang intelektual Amerika tentang masyarakatnya sendiri, suatu masyarakat yang mengidap perasaan benci kepada Islam (khususnya Arab) yang tak pernah terpuaskan. Pandangan umum yang tidak senang dengan Islam itu, seperti dikatakan dalam kutipan diatas, sudah diidap orang Barat sejak berabad-abad yang lalu, kemudian seolah-olah diperkuat oleh kejadian-kejadian mutakhir yang menyangkut Islam dan umat Islam.
Mari kita lihat bagaimana Dr. Robert Morey menunjukkan kebenciaanya pada umat Islam seperti pernyataannya berikut ini:

"Orang Barat mengalami kesulitan memahami Islam karena mereka tidak mengerti bahwa Islam merupakan suatu bentuk dari imperalisme budaya di mana agama dan budaya Arab abad ke - 7 ditingkatkan statusnya menjadi hukum Ilahi".

Kesimpulan yang impulsive yang mereka buat tentang segi¬segi negatif masyarakat Islam karena melihat kejadian-kejadian itu barangkali memang dapat dipahami. Tetapi orang Barat, termasuk kebanyakan kaum cendikiawan mereka, apalagi politisi mereka, melupakan dua sejarah dari dua masyarakat masa lalu yang sangat kontras : mereka lupa akan sejarah mereka sendiri yang kejam, bengis dan tidak beradab, sampai dengan saatnya mereka berkenalan dengan peradaban Islam; kemudian mereka lupa, atau semata-mata tidak tahu, sejarah Islam yang membawa rahmat bagi semua bangsa, membuka ilmu pengetahuan untuk semua masyarakat, dan membangun peradaban yang benar-¬benar kosmopolit. Sampai-sampai para sarjana Yahudi (yang di masa lalu terkenal sengit kepada Islam dan Kristen itu), seperti Schweitzer, Halkin, dan Dimont, memuji masyarakat Islam klasik sebagai paling baik memperlakukan para penganut agama lain, termasuk kaum Yahudi, yang sampai sekarang pun belum tertandingi.

WANITA DALAM ISLAM


Sistem hukum di seluruh dunia dihadapkan pada masalah : apa yang harus dilakukan jika ada pasangan suami-istri tidak sepakat tentang cara mengatasi urusan keluarga dalam berbagai hal. Bagaimanapun juga, keputusan berdasarkan suara terbanyak mustahil diambil. Hanya ada dua solusi yang mungkin: Pertama, Islam memberikan solusi bahwa salah satu pihak secara umum, atau dalam kasus-kasus tertentu, menyerahkan keputusan kepada pasangannya (yang berarti memberinya hak veto). Kedua, bahwa masalah tersebut dibawa keluar dari lingkup keluarga untuk dicarikan pemecahan atau keputusannya dalam lingkup keluarga besar, kantor catatan sipil atau pengadilan. Inilah cara Barat, dengan hasil keputusan yang tidak masuk akal sehingga, pernah kejadian, para petugas kantor catatan sipil di Jerman secara harfiah melempar dadu untuk menentukan nama keluarga apa yang harus diberikan kepada istri jika pasangan itu berselisih paham.
Islam lebih cenderung pada pendapat bahwa urusan keluarga harus diputuskan oleh keluarga itu sendiri dan, secara umum, memberi hak veto kepada suami yang biasanya merupakan pemberi nafkah dan pelindung. Sebagaimana firman Tuhan:

"Kaum pria adalah pelindung bagi kaum wanita, sebab Allah telah melebihkan golongannya dari golongan perempuan, dan karena pihaknya adalah sebagai pemberi nafkah dengan hartanya. "

Ayat ini tidak bisa ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa pria lebih unggul daripada wanita. Ayat ini tidak mempermasalahkan status melainkan isu-isu praktis yang berkaitan dengan perawatan dan perlindungan. Namun hal ini merupakan penghormatan bagi kaum wanita. Bahkan Rasulullah sendiri mencontohkan pernah membantu istrinya memasak di dapur. Para pewaris nabi yaitu ulama banyak yang lebih memilih memenuhi kewajiban sebagai suami ketimbang meminta haknya. Alm. Kiai Hamid (Pasuruan) memberikan suri tauladan bagaimana beliau tidak pernah menang-menangan (gengsi) apalagi berbuat eksploitatif terhadap istrinya, beliau selalu diam jika sang istri sedang marah, padahal semua tahu bagaimana wibawa Kiai Hamid yang dikenal sebagai seorang wali.

Dalam Islam, seorang laki-laki jika hendak mempersunting Wanita maka ia harus memiliki kesiapan mental menjadi penanggung jawab dan pemberi nafkah atas seluruh keluarga. Kesiapan mental untuk mengayomi dan mendidik istri dan keluarga, serta kesiapan finansial, hal ini menjadi penetapan adanya persyaratan kufu' dan ba'ah dalam Islam.
Perkawinan merupakan institusi penting yang dilindungi dalam Islam, sehingga perkawinanpun diharapkan bisa kekal. Tujuan ini menjelaskan adanya larangan mutlak terhadap hubungan seksual di luar pernikahan, celaan terhadap homoseksualitas, dan pencegahan perceraian.
Upaya melindungi perkawinan inilah merupakan alasan utama di balik aturan Al-Quran yang sering disalahgunakan dan paling banyak dipahami secara keliru, yang menyatakan bahwa seorang suami boleh "memukul" istrinya. Ayatnya berbunyi sebagai berikut:

"Sedangkan wanita-wanita yang kamu khawatirkan kedurhakaannya, berilah pengajaran yang baik, hukumlah dengan berpisah tidur, dan pukullah mereka. "

Tradisi Islam menyepakati bahwa aturan ini dimaksudkan untuk menyelamatkan perkawinan yang bermasalah, dan dengan cara itu mencegah terjadinya perceraian yang tidak bisa diperbaiki lagi. Dengan mengingat ini, ada persetujuan umum di kalangan Muslim dari masa paling awal bahwa "memukul" hanya boleh dilakukan dalam gerakan isyarat saja, dan jelas tanpa maksud untuk melukai secara fisik. Jika reaksi yang diberikan lain justru akan sia-sia menghancurkan, bukannya melestarikan ikatan perkawinan yang terancam. Nabi secara pribadi menolak hukuman badan apa pun terhadap istri-istrinya.
Hukum Islam tidak menunjukkan diskriminasi terhadap kaum wanita jika dibandingkan dengan kaum pria, selama apa yang sama diperlakukan sama. Dan inilah inti masalahnya : sebab teori Barat semata-mata menolak relevansi perbedaan hukum antara pria dan wanita, sementara Islam menolak untuk menuruti fiksi tersebut.

Demikian juga ajaran Islam tentang kewajiban istri untuk izin kepada suami sebelum meninggalkan rumah, adalah untuk mengembalikan martabat sebagai seorang istri, yang mempersembahkan dirinya hanya untuk suaminya dan tidak ingin kelihatan seakan-akan dia masih mencari-cari suami. Dengan izin kepada suami maka akan terjaga dari kecurigaan-¬kecurigaan, sehingga kesucian keluarga masih tetap terjaga. Jadi tujuan aturan ini bukan berarti merendahkan perempuan dan meniadakan hak-hak sipil kaum wanita.

Dalam situasi perkawinan dimana tidak ada jalan keluar lain, perceraian tetap diizinkan sebagai pintu darurat yang dibutuhkan dan boleh dilakukan oleh suami maupun istri. Yang membedakan hanyalah prosedurnya. Perceraian yang diusulkan oleh pria (thalaq) lebih mudah prosedurnya. Perceraian sudah final jika secara sepihak diucapkan oleh suami dalam jangka waktu tiga bulan. Ini berarti bahwa dengan perceraian itu dia kehilangan seluruh uang yang mungkin jumlahnya sangat besar (al-mahr) yang harus diberikannya kepada istrinya sebelum perkawinan. Jika istri juga datang memutuslcan ikatan perkawinan dengan cara yang begitu mudah, itu dapat mendorong timbulnya penyalahgunaan hadiah perkawinan dengan cara sistematis. Karena alasan inilah maka pengadilanlah yang harus memutuskan perceraian yang dimintakan oleh pihak istri (khulu'). Jadi ajaran Islam tidak meniadakan hak wanita dalam perceraian.

BUKTI BIBLE AJARAN GANAS, BUKAN KASIH SAYANG


Ayat-ayat Alkitab Pendorong Keganasan. Seringkali kita mendengar orang-orang Kristian mendakwa bahwa agama mereka didasarkan di atas konsep kasih-sayang antara manusia tetapi Islam pula diasaskan di atas mata pedang (keganasan). Dakwaan ini jauh daripada kebenarannya, terutama karena Islam tidak mengajarkan keganasan dan kedua karena dari sudut sejarah peperangan seperti Perang Salib dan sebagainya, orang-orang Kristianlah yang memburu dan membunuh umat Islam di mana saja mereka berada. Orang-orang Kristian yang melakukan keganasan seperti di Bosnia, Chechnya dan kepulauan Maluku ternyata didorong oleh ayat-ayat yang mengajarkan kekerasan di dalam Alkitab mereka. Di dalam Perjanjian Lama disebutkan :
“TUMPAS DENGAN PEDANG segala sesuatu yang di dalam kota itu, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, sampai kepada lembu, domba, dan keledai" (Yosua 6:21)
"Tetapi dari kota-kota bangsa-bangsa itu yang diberikan Tuhan Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, JANGANLAH KAU BIARKAN HIDUP apapun yang bernafas" (Ulangan 20:16)
"Siapa yang menghujat nama Tuhan, pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh seluruh jamaah itu. Baik yang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat nama Tuhan, haruslah dihukum mati" (Imamat 24:16).
* Menghalalkan kejahatan perang. Firman Tuhan untuk meyembelih kaum Amalek :
"Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan JANGANLAH ADA BELAS KASIHAN PADANYA. BUNUHLAH SEMUANYA, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai" (1 Samuel 15:3).
Di dalam Perjanjian Baru, 'Isa Almasih (yang didakwa oleh orang Kristian sebagai Allah) dilaporkan berkata seperti berikut :
"Jangan kamu menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi; aku datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang" (Matius 10:34)
"Kamu menyangka, bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kataku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan" (Lukas 2:51)
"Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi" (Matius 15:30)
Ayat-ayat inilah yang mampu mendorong pengganas-pengganas Kristian di seluruh dunia untuk menebarkan kekerasan di muka bumi. Penyembelihan 200 ribu Muslim Bosnia, puluhan ribu Muslim Kosovo, ribuan Muslim di Chechnya, ribuan Muslim di Ambon, Halmahera dan sebagainya merupakan hakekat ajaran sesat dan keganasan yang termaktub di dalam Alkitab Bibel. Mohd Elfie Nieshaem Juferi

ILMU-ILMU YANG DILAHIRKAN OLEH AL-QURAN


Tidak diragukan lagi bahwa sejarah pertumbuhan ilmu ke¬agamaan yang dikenal oleh kaum Muslimin dewasa ini berawal dari masa Nabi s.a.w. dan tuntnnya Al-Quran. Para sahabat dan tabi'in telah mengenal ilmu-ilmu ini dalam abad pertama Hijrah secara tidak sistematis, karena adanya larangan untuk membukukan ilmu dengan segala cabangnya. Sedangkan cara menerima dan mem¬pelajarinya adalah penghapalan dan penyampaian secara lisan, kecuali sedikit sekali catatan tentang fikih, tafsir dan hadis.
Pada awal abad kedua Hijrah, ketika larangan itu ditiadakan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz antara 99-101 H, mulailah kaum Muslimin membukukan hadis, kemudian menga-rang buku-buku tentang ilmu-ilmu yang lain dan membuat sistem tertentu untuk menulis dan mengarang. Sebagai hasil dari usaha¬usaha itu adalah 'ilmul-hadits, 'ilmurrijal (ilmu mengenai para perawi hadis) dan dirayah (ilmu mengenai kandungan hadis}, 'ilmu ushul fiqh, 'ilmul kalam dan lain-lain.
Sampai-sampai dalam hal filsafat yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab pada tahap-tahap permulaan¬nya, dan yang tetap bertahan menurut versi Yunaninya untuk jangka waktu vang tidak pendek, ternyata lingkungan pergaulan Arab-Islam telah m mempengaruhinya, baik dari segi bentuk maupun materinya. Bukti paling andal untuk hal ini adalah masalah¬masalah filosofis yang dikenal di kalangan kaum Muslimin dewasa ini. Untuk mengetahui suatu masalah kefilsafatan tentang penge¬tahuan ketuhanan diperlukan penemuan teks, bukti-bukti dan argumentasi-argumentasinya dalam lembaran-lembaran ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis.
Hal ini juga bisa diberlakukan pada ilmu-ilmu kesusastraan. Yang mendorong orang untuk mempelajari, membahas dan mengkaji ilmu-ilmu seperti sharf (tata bahasa), nahwu (sintaksis) ma'ani, bayan, badi', lughah dan fiqhul lughah, dan etimologi, meskipun mencakup bahasa Arab secara umum, adalah firman Allah (Al-Quran) yang memiliki keindahan bahasa yang sempurna. Hal ini merupakan sebab timbulnya usaha untuk mengetahui keistimewaan-keistimewaan AI-Quran, usaha untuk mengkaji bukti-bukti dan bandingan-bandingannya, serta usaha untuk mengetahui segi-segi kefasihan, keindahan bahasanya, dan rahasia¬rahasia yang tersimpan di dalam kalimat dan kata-katanya. Ke¬mudian, karena faktor-faktor inilah, ditemukan ilmu-ilmu bahasa yang telah kami sebutkan di atas.
Ibnu Abbas termasuk penafsir terbesar dari kalangan sahabat. Dalam menafsirkan Al-Quran ia menggunakan syair. Dia menyuruh mengumpulkan dan memelihara syair itu. Dia berkata: "Syair ada¬lah bunga rampai (ontologi) bangsa Arab." Dengan perhatian dan kesungguhan inilah, prosa dan syair Arab dipelihara, sampai-¬sampai seorang ulama Syi'ah, Khalil bin Ahmad al-Farahidi dari Basrah yang merupakan ahli bahasa dan sastra, mengarang Kitabul 'Ain tentang bahasa Arab, dan men¬ciptakan 'ilmul 'arudh (ilmu syair), untuk mengetahui pedoman¬pedoman khusus dalam membuat syair. Demikian pula, ulama¬ulama lain juga mengarang buku-buku bernilai tentang dua ilmu ini.
Ilmu sejarah juga merupakan sempalan dari ilmul hadits. Pada mulanya ilmu itu merupakan kumpulan kisah para Nabi dan umat¬umat mereka. Dimulai dari sejarah Nabi Mluhammad s.a.w., ke¬mudian ditambah dengan sejarah permulaan Islani, dan sesudah itu menjadi sejarah seluruh dunia. Para ahli sejarah, seperti ath-Thabari, al-Mas'udi, al-Ya'kubi dan al-Wakidi, telah menulis karya-karya tentang sejarah.
Dapat dikatakan dengan tegas bahwa Al-Quran merupakan faktor pendorong pertama bagi kaum Muslimin untuk mempelajari ilmu-ilmu rasional, baik ilmu kealaman maupun matematika, dengan mengambil alih dan menerjemahkannya dari bahasa-¬bahasa lain, pada permulaannya. Kemudian mereka mandiri dalam mempelajari, membuat teori-teori baru mengenai obyek bahasan ilmu-ilmu tersebut, merinci masalah-masalahnya, dan mengkaji secara mendalam beberapa pembahasannya yang penting. Pada waktu itu, dengan dorongan dari khalifah, ilmu-ilmu itu diter¬jemahkan dari bahasa-bahasa Yunani, Suryani dan India ke dalam bahasa Arab. Kemudian ilmu-ilmu yang telah diterjemahkan itu disajikan kepada kaum Muslimin di daerah tempat tinggal mereka. Wilayah pengkajian terhadap ilmu mulai meluas dan dilakukan secara mendalam dan terinci.
Peradaban Islam, yang kini menjangkau sebagian besar wilayah dunia sesudah wafat Rasulullah, mempunyai pengaruh yang besar dan terus berkembang sampai dewasa ini di kalangan lebih dari enam ratus juta orang Islam. Peradaban ini merupakan salah satu produk Al-Quran (perlu diketahui bahwa kelompok Syi'ah selalu menentang para khalifah dan raja yang mengabai¬kan penjelasan tentang ajaran-ajaran Islam dan penerapan hukum-¬hukumnya. Meskipun demikian kelompok Syi'ah yakin bahwa cahaya Islam sebesar dan secerah ini di berbagai penjuru dunia hanyalah me¬rupakan salah satu cahaya dari sekian banyak cahaya Al-Quran).
Tentu saja, perkembangan sedemikian ini, yang merupakan salah satu dari rangkaian kejadian di dunia ini, akan berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan-perkembangan di masa-¬masa yang akan datang. Dari sinilah muncul suatu keyakinan bahwa sebab dari salah satu perkembangan mencengangkan ilmu pengetahuan yang kita saksikan dewasa ini adalah pengaruh Al¬Quran.

YESUS Vs PAULUS


Buku The Islamic Invasion dibuka dengan "Sekapur sirih" Robert Morey menulis antara lain :
"Dunia penuh dengan kekusutan ruhani dan kebenaran. Ada banyak kondisi dan cara dimana kita melenceng tanpa mengetahui betul-betul bahwa kita ini tersesat. Al - Kitab mengungkapkan betapa canggihnya si penyesat ketimbang manusia yang disesatinya: "Iblispun menyamar sebagai malaikat terang. "
Tetapi, 2000 tahun yang lalu, hal ini telah diperingatkan oleh Yesus:
' .....akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. " (Yohanes,16: l)
Menyimak ayat Bibel, Yohanes,16: 2 sebagaimana tersebut diatas, bagi orang yang paham tentang sejarah awal umat Kristiani, bahwa ucapan Yesus tersebut justru ditujukan kepada Paulus dan pengikutnya yang telah membunuh pengikut¬-pengikut setia Yesus.
Umat Kristiani menyangka bahwa ia (Paulus) berbuat bakti bagi Allah, sehingga dia diangkat sebagai Bapak Gereja sedunia. Padahal dialah orang pertama yang menodai ajaran Yesus. Robert Morey melanjutkan tulisannya.
"Itulah ciri-ciri dunia yang kehilangan tolok hakiki : alasan aktual don nurani kejujuran. Yang ramai adalah kesemuan yang membonceng kesejatian. Kembali ini diperingatkan oleh Yesus bahwa si jahat selalu menaburkan benih lalang di tengah-tengah benih gandum. Keduanya lalu tumbuh bersama, sulit dibedakan, sulit di cabuti satu terhadap yang lainnya." (Matius,13 : 24-30).
Maka menjamurlah alasan, fakta dan keadilan "tandingan" antara gandum dan lalang.
Siapakah penabur benih lalang sebagaimana disinyalir oleh Yesus yang tercantum dalam Matius, l3 : 24-30, itu? Tidak lain dia adalah Paulus, seorang pengkhianat yang menyusup seolah¬-olah menjadi murid Yesus. Kemudian mengadakan kudeta terhadap ajaran Yesus, dan mendirikan agama yang dia beri nama Kristen, pada tahun 40 Masehi di kota Antiokhia.
Simaklah informasi Bibel dibawah ini:
"Mereka tinggal bersama-sama dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang. Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen." (Kisah Para Rasul, 11 :26)
Secara jujur, marilah kita perbandingkan:
1.Agama yang dibawa Yesus (Nabi Isa a.s.), bernama agama Nasrani. Nasrani dari kata Nasaret, yaitu nama sebuah desa tempat kelahiran Yesus.
Ajaran agama Nasrani antara lain:
1.Yesus dikhitan pada umur 8 hari
2.Yesus meninggal dunia diberi kain kafan.
3.Yesus tidak minum khamr (minuman keras).
4.Yesus tidak makan babi.
5.Yesus tidak makan darah.
6.Yesus adalah utusan Allah.
Pengikut Yesus disebut kaum Khawariyun yaitu yang kemudian disebut kaum Nazarean (Nasrani) kemudian Unitarian dan habis dibantai oleh para pengikut Paulus dengan penjagalan yang disebut "lembaga Inkuisisi".
2.Agama yang dikembangkan oleh Paulus disebut agama Kristen, dilahirkan pada tahun 40 Masehi di kota Antiokia.
Diantara ajarannya adalah:
1.Khitan tidak perlu.
2.Meningggal dunia berpakaian pengantin.
3.Khamr (minuman keras) halal.
4.Babi halal.
5.Darah halal.
6.Yesus adalah Tuhan (oknum ke-2 dalam doktrin Trinitas).
Pengikut Paulus disebut kaum Kristiani. Dengan uraian tersebut di atas, hendaknya para pembaca dengan cermat bisa membedakan antara agama Nasrani yang dibawa oleh Yesus (Nabi Isa a.s.), dan agama Kristen yang dibawa oleh Paulus, orang yang membunuhi pengikut-pengikut setia Yesus.
Maka jelas sekali, yang dimaksud oleh Yesus dalam ayat Bibel, Matius, 13: 24-30, tidak lain adalah Paulus.
Selanjutnya para pembaca juga harus cermat membedakan bahwa agama Nasrani yang dibawa Yesus (Nabi Isa a.s.) disebut agama Samawi atau agama Langit, namun agama Kristen yang dibawa oleh Paulus, tidak bisa disebut agama Samawi atau agama Langit. Kristen adalah agama bumi karena hasil olahan Paulus yang ayahnya orang Romawi dan ibunya orang Yahudi.

KENAPA BAHASA QURAISY?


Penggunaan bahasa Arab dengan dialek Quraisy dijadikan alasan oleh Dr. Robert morey untuk mengatakan bahwa al-Qur'an adalah karangan Nabi Muhammad Saw seperti berikut ini :

Umat Muslim menyatakan ba hwa AI-Qur'an "difurunkan" dari surga dan bahwa Muhammad fidak dapat dipandang sebagai penyusunnya. Tetapi menuruf Concise Encyclopedia of Islam, bahasa Arab yang dipakai dalam AI-Qur'an itu merupakan suatu dialek kosakafa dari salah seorang anggota suku Quraisy yang finggal di kota Makkah. Jadi sidik jari Muhammad fercecer di seluruh AI-Qur'an.

Pernyataan seperti di atas hanya pantas diucapkan oleh seorang yang tidak memiliki nabi. Bukankah nabi dari pembuat pernyataan tersebut menerima wahyu dalam bahasanya sendiri? Ungkapan balik semacam ini tidak berguna sebab yang mempertanyakan memang tidak punya nabi/rasul sebab sudah dilantik Paulus menjadi tuhan.
Umat Kristen yang mengakui Injil tentu mengakui Taurat, yang tentunya mengakui adanya wahyu yang berbahasa Ibrani tersebut. Kenapa harus berbahasa Ibrani? Pertanyaan yang sama : "Kenapa harus berbahasa Quraisy ?". Semua wahyu yang berasal dari Allah tentu saja boleh dikatakan Surgawi - untuk menyatakan wahyu itu berasal dari yang Kuasa-, wahyu tersebut disampaikan kepada masing-masing rasul dengan bahasa umat mereka. Kalau umat Muslim diberi wahyu berbahasa Ibrani tentu saja tidak akan paham, kalau tidak dipahami apa fungsinya wahyu ?. Taurat sendiri dalam kitab Ulangan :18 :18 menubuatkan kemunculan Muhammad, yang bahkan menerangkan bagaimana proses pewahyuan itu dilakukan.

MUHAMMAD SEORANG PENDOSA?


Beberapa hadits yang menyatakan Rasulullah berdoa dan memohon ampunan Allah dijadikan alasan bahwa Rasulullah adalah seorang pendosa bagi pembenci Islam. Memohon ampunan Allah adalah sikap para nabi-nabi yang diajarkan kepada umatnya, dan hal itu sama sekali tidak menunjukkan suatu kelemahan apalagi dikatakan sebagai seorang pendosa. Hanya orang yang suka mendongakkan kepala saja yang mengatakan hal itu sebagai suatu kekurangan.
Nabi Musa As. juga berdoa memohon ampunan Allah atas kesalahan membunuh orang Mesir yang telah membunuh orang Ibrani. Nabi Isa As. (Yesus) juga melakukan hal yang sama, sebagaimana doa yang beliau ajarkan kepada para murid-muridnya:
"dan ampunilah kami dari kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni mengampuni orang yang bersalah kepada kami; " (Matius 6: 12).
Mungkin saja otoritas gereja berkilah bahwa doa di atas hanyalah sekedar ajaran yang tidak menunjukkan bahwa Yesus pernah berdosa, namun demikian tidak ada bukti-bukti yang mengatakan bahwa beliau tidak pernah bersalah, namun sebaliknya beliau malah dibabtis oleh Nabi Yahya, yang melembagakan pembabtisan sebagai simbol pengampunan bagi orang bertobat. Jika pemikiran ungul-mengunggul atau setidaknya membedakan antara para nabi Allah ini dituruti, maka mestinya nabi Yahya lebih suci dari Yesus, sebab Yohaneslah yang membabtisnya di sungai Jordan. Namun demikian pemikiran semacam itu ditolak keras oleh Islam, sebab pada dasarnya mereka semuanya adalah manusia suci ciptaan Allah, dan sebagai ciptaan kesalahan kecil dari mereka mungkin saja terjadi, dan itu tidak mengurangi kredibelitas mereka sebagai pembawa wahyu, justru hal itu menyatakan bahwa mereka hanyalah manusia utusan Allah yang di utus kepada manusia.
Dr. Sanihu Munir, yang juga mengomentari masalah ini, mengutip pernyataan Yesus dalam Naskah Laut Mati yang menyatakan bahwa Yesus memohon ampun kepada Allah atas segala dosa-dosanya, seperti kutipan dalam Rule of Community 11: 9-10, berikut ini:

"Dan saya (saya tergolong) manusia yang jahat dan termasuk dalam kelompok orang yang keji. Ketidakadilan saya, pelanggaran-pelanggaran saya, dosa-dosa saya... (Termasuk) dalam golongan yang hina dan yang berada dalam kegelapan".
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Yesus, ketika menjawab pertanyaan muridnya yang menyebutnya "guru yang baik":
Apakah sebabnya engkau katakan aku ini baik? Seorangpun tidak yang baik, hanya Satu, yaitu Allah. " (Markus 10:18).
Al-Qur'an, yang mencantumkan do'a nabi Adam sebagai bapak manusia, dan menjadi do'a umat Muslim sehari-hari, menyatakan :
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang¬orang yang merugi ". (Al-a'raf 7:23).
Apa yang telah dicontohkan oleh para nabi termasuk Yesus dan Rasulullah Muhammad, hendaklah menjadi contoh bagi umat masing-masing. Amatlah naif jika umat nabi Isa tidak mau memohon ampun langsung kepada Allah, karena merasa dosanya sudah ditanggung oleh sang nabi sendiri, padahal Yesus menyatakan :
"Sebab anak manusia akan datang dalam kemuliaan Bapaknya, diiringi malaikat malaikatNya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya ". (Matius 16-27).
Yesus yang dengan tegas menyebut dirinya "anak manusia", menyatakan bahwa pembalasan (pada hari pembalasan) bagi setiap orang sesuai kesalahan masing-masing. Pembalasan itu termasuk bagi mereka yang menyebut Yesus sebagai "anak Tuhan", sebab tidak mungkin Yesus yang tidak ingin dikultuskan mau menolong umatnya yang tetap mengkultuskan dirinya. Jadi bagaimana dengan doktrin "dosa warisan" dan "penebusan" lewat pendeta atau Kardinal gay yang baru dilantik di New Hampshire?

Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan agama, antara lain:

1. Agama muncul karena kebodohan manusia.
Sebagian mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena kebodohan manusia. August Comte peletak dasar aliran positivisme menyebutkan, bahwa perkembangan pemikiran manusia dimulai dari kebodohan manusia tentang rahasia alam atau ekosistem jagat raya. Pada mulanya periode primitif karena manusia tidak mengetahui rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena alam kepada Dzat yang ghaib. Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai pada batas segala sesuatu terkuak dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan terhadap yang ghaib tidak lagi mempunyai tempat di tengah-tengah mereka. Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh ia dari agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka makin kuat agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama, seperti Albert Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya, alangkah banyak orang bodoh yang tidak beragama.
2. Agama muncul karena kelemahan jiwa (takut)
Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan takut terhadap Tuhan dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani keyakinan seperti itu tidak akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut teori ini agama adalah indikasi dari rasa takut. Memang takut kepada Tuhan dan hari akhirat, merupakan ciri orang yang beragama. Tetapi agama muncul bukan karena faktor ini, sebab seseorang merasa takut kepada Tuhan setelah ia meyakini adanya Tuhan. Jadi, takut merupakan akibat dari meyakini adanya Tuhan (baca beragama).
3. Agama adalah produk penguasa
Karl Marx mengatakan bahwa agama merupakan produk para penguasa yang diberlakukan atas rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak dan menerima keberadaan sosial ekonomi. Mereka (rakyat tertindas) diharapkan terhibur dengan doktrin-doktrin agama, seperti harus sabar, menerima takdir, jangan marah dan lainnya. Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat sosial yang tidak mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada lagi perbedaan antara si kaya dan si miskin, maka agama dengan sendirinya akan hilang. Kenyataannya, teori di atas gagal. Terbukti bahwa negara komunis sosialis sebesar Uni Soviet pun tidak berhasil menghapus agama dari para pemeluknya, sekalipun dengan cara kekerasan.
4. Agama adalah produk orang-orang lemah
Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini mengatakan, bahwa agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk membatasi kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti kedermawanan, belas kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan oleh orang-orang lemah untuk menipu orang-orang kuat, sehingga mereka terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya. Teori ini dipelopori Nietzche, seorang filusuf Jerman. Teori di atas terbantahkan jika kita lihat kenyataan sejarah, bahwa tidak sedikit dari pembawa agama adalah para penguasa dan orang kuat misalnya Nabi Sulaiman dan Nabi Daud keduanya adalah raja yang kuat. Sebenarnya, mereka ingin menghapus agama dan menggantikannya dengan sesuatu yang mereka anggap lebih sempurna (seperti, ilmu pengetahuan menurut August Comte, kekuasaan dan kekuatan menurut Nietszche, komunis sosialisme menurut Karl Marx dan lainnya). Padahal mencintai dan menyembah kesempurnaan adalah fitrah. Perbedaan kaum agamawan dengan mereka, adalah bahwa kaum agamawan mendapatkan kesempurnaan yang mutlak hanya pada Tuhan. Jadi, sebenarnya mereka (kaum Atheis) beragama dengan pikiran mereka sendiri. Atau dengan kata lain, mereka mempertuhankan diri mereka sendiri