KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN MATERIALIS TENTANG ILMU

Minggu, 04 Oktober 2009

Pemikiran materialis telah melanda sebagian kaum muslimin dan perlu pencerahan untuk melawan pemikiran tersebut. Oleh karena itu ada baiknya bila kami memberikan beberapa kritikan terhadap pemikiran tersebut setelah menerangkan maksudnya secara ringkas.

Eksperimen adalah suatu percobaan, baik bersifat alamis maupun laboratoris. Namun yang penting untuk digaris bawahi adalah kesemuanya itu tidak bisa tidak, harus berhubungan dengan panca indra. Jadi sesuatu yang tidak bisa dilihat, diraba, dicium, didengar dan dirasa, tidak dapat dieksperimen. Dan kalau tidak bisa dieksperimen, kata mereka, tidak bisa diyakini kebenarannya. Oleh karena itu, sekalipun keberadaannya kita ketahui, akan tetapi hanya tergolong sebagai pengetahuan (knowledge) alias ilmu yang tak pasti kebenarannya. Semacam pengetahuan kita terhadap Tuhan, Malaikat, jiwa, surga-neraka dan lain-lain. Ini kata mereka.

Bagi mereka, segala sesuatunya harus dapat lolos dari penyelidikan eksperimen sebelum diyakini kebenarannya atau dijadikan suatu keyakinan. Mereka menentang atau minimal meragukan segala macam kebenaran argumen akal yang banyak disajikan oleh para filosof. Mereka sama sekali tidak mau menjadikan statemen-statemen yang bersifat akliyah sebagai suatu argumen atau sebagai mukadimah dari silogisme yang menghasilkan kebenaran. Walaupun sebenarnya penemuan akliah, secara global lebih meyakinkan dari segala macam penemuan eksperimen sebagaimana yang akan kami buktikan nanti. Dan bahkan manusia tidak bisa lepas dari argumen-argumen atau silogisme-silogisme yang bersifat akliah. Mereka (orang-orang materialis) mengatakan bahwa “semua yang ada dalam pahaman tidak terjamin kebenarannya sebeluk ekperimen”. Kesimpulan mereka ini diambil dari hasil silogisme (Qiyas) yang mereka buat :
“semua yang ada dalam aka, tidak dijamin kebenarannya. Yang tidak dijamin kebenarannya harus diuji dngan eksperimen, supaya dapat diyakini kebenarannya. Jadi semua yang ada dalam akal, harus diuji dengan eksperimen supaya dapat diyakini kebenarannya.”
Kemudian mereka meneruskan :
“kebenaran sejati hanya lahir dari eksperimen. Eksperimen hanya berkaitan dengan yang dapat dipantau dengan panca indra. Jadi kebenaran sejati hanya berkaitan dengan yang dapat dipantau dengan panca indra”.

Kita dapat menyajikan beberapa point untuk membuktikan kelemahan silogisme diatas. Beberapa point yang kamiu maksudkan adalah sebagai berkut :
Poin pertama, dua mukadimah (elemen) pada silogisme pertama dan mukadimah pertama pada silogisme kedua diatas, tidak bisa tidak, adalah sebuah kesimpulan (statemen,proposisi) yang dihasilkan dari induksi. Induksi adalah kesimpulan universal (menyeluruh) yang ditopang oleh penelitian pada sebagian individunya. Sementara induksi sendiri merupakan metodologi akal, bukan eksperimen. Sebab kalau metodologi eksperimen, harus mengeksperimen semuanya sebelum membuat kesimpulan menyeluruh (universal). Dan sudah tentu, yang elemennya (sillogisme) bersifat induktif maka hasilnya juga akan bersifat induktif. Oleh karena itu kesimpulan yang dihasilkan dari sillogisme yang elemen-elemennya bersifat induktif tidak dijamin kebenarannya. Dengan kata lain, kalau kesimpulan mereka benar, yaitu yang mengatakan bahwa yang ada dalam akal kita harus dieksperimen supaya dijamin kebenarannya, maka kesimpulan mereka ini pun harus diuji kebenarannya. Sementara mereka dapatkan kesimpulan tadi dari hasil induksi karena pembuktiannya hanya dilakukan pada beberapa pahaman saja dan tidak mungkin pada semuanya. Sebab disamping pahaman manusia semakin hari semakin bertambah, yang ada dapat kita katakan, sesuai dengan logika mereka, bahwa kesimpulan mereka tersebut belum tentu benar. Dan yang belum tentu benar tidak mungkin dijadikan pegangan.
Poin kedua, pada poin pertama, kita telah membuktikan bahwa elemen-elemen dari dalil mereka, dan begitu pula kesimpulannya bersifat induktif. Dengan demikian terbuktilah bahwa kesimpulan-kesimpulan yang bersifat akliah dapat diyakini kebenarannya.
Poin ketiga, pada elemen kedua pada silogisme pertama dan elemen pertama pada silogisme kedua mempunyai kesamaan maksud. Yakkni eksperimen adalah satu-satunya jalan untuk meyakini kebenaran suatu kesimpulan (statemen). Sementara anda adpat melihat pada poin kedua diatas, bahwa kesimpulan-kesimpulan akliah juga dapat dijadikan sandaran bagi kebenaran suatu statemen. Oleh karenanya jelaslah kesalahan dari kedua elemen tersebut. Dengan demikian silogisme yang elemennya terdiri dari proposisi (statemen, kesimpulan) yang salah. Maka dari itu salahlah perkataan mereka yang mengatakan bahwa “seluruh yang ada dalam akal kita harus dieksperimen supaya dapat diyakini kebenarannya”.
Poin keempat, sesuai sejarah perkembangannya eksperimen melambangkan suatu kemampuan yang ada pada manusia, pelakunya. Sehingga dengan perkembangan kemampuan manusia tersebut tidak jarang kesimpulan yang dihasilkan oleh eksperimen terbaru manusia berbeda dan bahkan menyalahkan yang sebelumnya. Begitulah keadaannya, sehingga setiap penemuan selalu menunggu penemuan baru yang akan menyempurnakannya atau bahkan menyalahkannya sama sekali. Sampai-sampai kita pernah mendengar dari seorang ilmuwan yang mengatakan bahwa sebuah penemuan paling lama akan berumur sepuluh tahun. Kalau demikian halnya, bagaimana mungkin kita akan bersandar kepada suatu kesimpulan yang dihasilkan dari sebuah penemuan eksperimen yang setiap saat menunggu untuk disempurnakan atau bahkan disalahkan oleh eksperimen berikutnya?. Apakah kita akan sependapat dengan filsafat pragmatisme yang dikembangkan oleh paham komunisme?. Hal mana mereka mengatakan bahwa kebenaran itu berkembang, bahwa kebenaran itu benar sebelum disalahkan, bahwa sesuatu itu benar pada masa dibenarkan dan salah pada masa disalahkan?. Adakah pegangan yang lebih rapuh dari ini? Sebab kebenaran adalah kebenaran, baik diakui atau tidak. Karena kebenaran adalah suatu esensi yang hakiki dan tidak berubah serta tidak memerlukan pengakuan.
Poin kelima, sebagaimana maklum, eksperimen berdiri diatas panca indra. Sementara panca indra sangat terbatas oleh ruang, waktu dan keadaan. Sehingga apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, tidak dapat dieksperimenkan. Begitu pula yang tidak terjangkau karena jauhnya, karena dalam atau panasnya. Tak ada yang dapat dilakukan oleh eksperimen terhadap hal-hal tersebut kecuali meraba-raba dan memperkirakannya saja. Sebab yang telah lalu tidak mungkin dimundurkan, dan yang akan datang tidak mungkin dimajukan. Eksperimen juga tidak akan pernah dapat menjelaskan kapan waktu dimulai dan kapan berakhir. Ia tidak mampu menjelaskan awal kejadian manusia, dari apa dan apa setelah mati. Ia sangat terbatas sementara alam sangat luas. Ia sampai detik ini baru menemukan seribu rahasia, itu pun tak pasti sementara alam memiliki bertrilliun-trilliun rahasia yang pasti. Kalau demikian halnya bisakah kita menjadikannya suatu pegangan utnuk mengerti tentang hidup dan kehidupan?. Sebab bagaimana mungkin penemuan yang diapit oleh keraguan dapat menghasilkan kepastian?. Tapi anehnya mereka para pengamat eksperimen justru merasa bangga dengan pangkat ilmuwannya dan ke sana ke mari bangga membawa buku judul “science” dan “penemuan ilmiah”. Sementara mereka yakin bahwa penemuannya tidak sempurna, atau bahkan mungkin salah.
Poin keenam, kalau pada poin kelima kami memaparkan keterbatasan alat eksperimennya, yakni panca indra, sekarang kami akan memaparkan keterbatasan obyek penelitiannya. Eksperimen, bagaimanapun juga tidak akan dapat mengerti tentang keuniversalan alam ini. Sebab sesuai konsepnya sendiri, segala sesuatunya harus dieksperimen. Jadi ketika eksperimen meneliti senut, ia hanya akan mengerti tentang semut dan hal-hal yang nampak jelas berhubungan dengannya. Begitu pula tentang penelitian yang lainnya. Sehingga ia (eksperimen) tidak dapat merumuskan konsep kehidupannya yang universal dan tidak pula dapat menolak konsep kehidupan itu seandainya golongan lain merumuskannya.

Untuk menjawab mereka ini kita dapat mengajukan permasalahan sebagaimana diatas. Yakni karena ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh eksperimen tetap dalam keraguan, maka kesimpulan dari ilmu yang diangkat dari ilmu-ilmu itu juga akan tetap meragukan. Lagipula sudah kami katakan bahwa eksperimen bertolak belakang dengan keuniversalan. Bagaimanapun juga, kalau mereka menginginkan keuniversalan dari ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh eksperimen, sekalipun untuk memadukan seluruh hasilnya, mereka harus menggunakan argumentasi akal, dan tidak dapat secara langsung mengangkatnya dari eksperimen-eksperimen yang ada. Atau mereka harus mampu mengeksperimen hubungan seluruh penemuannya. Dan ini tidak akan cukup dengan hanya mengandalkan seluruh umur manusia yang ada. Sebab sebagaimana maklum, selama masih ada manusia maka di situ pula akan lahir eksperimen yang baru. Yang melengkapi atau bahkan menyalahkan sama sekali penemuansebelumnya. Atau, mungkin sama sekali baru.
Poin ketujuh, marilah kita uji mereka dengan konsep mereka sendiri. Mereka mengatakan bahwa seluruh yang kitaketahui, tanpa eksperimen, tidak dapat dijamin kebenarannya. Yang ingin kami tanyakan, apakah mereka sudah didukung oleh eksperimen?. Apakah mereka sudah mengeksperimen seluruh pengetahuan dasar manusia? Atau sekadar menemukan beberapa saja dari padanya lau menyimpulkan secara menyeluruh? Sebab kalau mengeksperimen seluruh pengetahuan manusia, minimal pengetahuan dasarnya saja, rasa-rasanya akan membuang waktu karena tidak akan cukup untuk itu sekalipun kita memanfaatkan seluruh umur manusia. Sebab selama manusia masih ada, khayalan dan bayangan atau ide akan tetap ada. Dan kalau mereka hanya mengeksperimen sebagiannya saja maka jelas mereka tidak boleh menyimpulkan terhadap keseluruhannya. Ini sesuai dengan konsep eksperimen mereka.

Kami tidak menentang dan antipati terhadap eksperimen. Namun kami ingin menunjukkan posisi yang sebenarnya bahwa ia tidak bisa dijadikan sandaran mutlak bagi kehidupan manusia. Dan kami ingin membuktikan bahwa tidaklah seluruh pahaman atau ide-ide manusia harus selalu dieksperimen sebelum kemudian dinilai benar salahnya. Sebab kalau seluruhnya harus dieksperimenm selain kemuskilan-kemuskilan yang kami uraikan di atas, bukankah kita harus menggeledah seluruh isi kantong, rumah dan kantor teman kita sebelum kita memberikan pinjaman uang kepadanya? Sebab kita harus mengeksperimen sebelum mempercayai bahwa ia tidak mempunyai uang dan memerlukan pinjaman.

0 komentar:

Posting Komentar